Rabu, 06 Maret 2013

Cerita Berbicara #edisipintar


Kehidupan di ibukota membuat seorang mahasiswa lulusan pendidikan guru TK memaksa dirinya bekerja menjadi editor di sebuah penerbitan. Bukan sebuah paksaan memang tapi dia mecintai apa yang dilakukan ini. Namanya Cerita, buat Cerita menjadi editor merupakan hal yang menyenangkan, tapi tidak termasuk ketika Cerita lembur yang jelas. Cerita memang suka membaca, suka berbagi dengan orang lain, dan suka bergaul dengan orang lain.
Tiba saatnya ketika Cerita berpikir, “aku ini seorang editor, rasanya kurang adil, jika aku hanya mengedit karya orang, tapi aku sendiri tidak punya karya, aku ingin punya suguhan kisah-kisah menarik.” Cerita Sebenarnya pernah membuat cerita atau novel, tapi biasanya dia tidak pernah melanjutkannya, dia terlalu tidak percaya diri dengan diri sendiri atau dia hanya bingun menentukan akhir dari ceritanya.
Di kantor Cerita memiliki teman dekat yang baik bernama Nalar dan Rasa. Mereka ini teman yang membantu Cerita pada awal masa kerja di penerbitan.

Di sela istirahat kantor.
“aku ingin punya karya, bagaimana menurut kalian?” ucap Cerita di tengah perbincangan makan siang
“wah, kemajuan seorang editor yang haus kisah-kisah… ada apa ini?” tanya Rasa
“aku hanya ingin, entahlah, aku hanya merasakan, aku ini editor yang perlu di edit, aku ingin tahu apa rasanya saja ketika cerita mu di edit oleh seorang editor, aku ingin mengalami intrik ini” jawab Cerita dengan serius
“hahaha, kau ini, coba saja, aku yakin selama kau menjadi editor kau mulai memikirkan, apa yang mau kau buat… input mu banyak sekali sebagai seorang editor” kata Nalar
“memang aku baru bekerja di kantor ini beberapa minggu, tapi entah kenapa “setan” editor  terlalu menyergap” ungkap Cerita
“tapi kau masih waras kan?” celetuk Rasa
Mereka bertiga tertawa kompak
“tentu saja, tapi entahlah, sepertinya tadi pagi aku hampir melupakan nama ku” canda Cerita
Mereka melanjutkan tertawa, kemudian meneruskan kerja mereka

Cerita memiliki partner kerja bernama Enggan, pria yang terlihat selalu ceria, namun Cerita tidak pernah mau mengenal lebih dekat orang ini.
Di meja Cerita ada sebuah naskah, “CERITA BERBICARA”, dilihat oleh Enggan
Tiba-tiba Cerita datang
“ini kau yang buat?” tanya Enggan
“iya, gimana?” tanya balik Cerita sambil cengir
“terlalu kuno cerita mu, tidak biasa, cerita yang bagus bukan yang terlalu beda dari pasaran yang ada, harusnya kau melihat di pasaran jenis cerita apa yang biasanya ada di pasaran, terus kamu kembangin” ketus Enggan
“oh gitu, kau tahu banyak ya” jawab Cerita dengan dingin
“iya, ku harap kau tidak marah” kemudian Enggan pergi meninggal Cerita untuk makan siang
“ya… aku tidak marah…” jawab pelan Cerita sambil memandang naskahnya, kemudian dibawanya naskahnya itu untuk dilihat ke teman-teman perempuan baiknya
Dengan lesu Cerita duduk
“kenapa dear?” tanya Nalar
Kemudian Cerita menceritakan naskahnya yang selesai di ketiknya dan berniat akan dimasukkan ke kantor penerbitannya sendiri, kemudian menceritkan insiden antara dirinya dengan Enggan
“sudahlah, Enggan hanya iri kepada kau, aku yakin, cerita mu bagus, tentang pengungkapan pembunuhan oleh seorang detektiv, itu unik, diantara maraknya naskah percintaan” kata Rasa
“tapi Enggan menganggap aku tidak tahu naskah yang di pasaran” sedih Cerita
“jadi berbeda bukan berarti aneh, itu unik, dan kau berani!!! Lagi pula ini kantor tempat kau bekerja, kenapa harus minder, akan ku pastikan naskah mu akan di-editor-i oleh orang yang tepat ” semangat Rasa

Dua hari kemudian
“maaf Cerita, naskah mu, editor naskah mu Jauh…” sergap Nalar, kemudian Cerita dan Rasa resah
Hari-hari berlalu setelahnya, tapi Rasa dan Nalar tetap menguatkan Cerita agar tetap berkarya. Minggu-minggu berlalu. Jauh terkenal sebagai editor yang “angot-angot”-an. Entah kapan naskah akan di edit oleh Jauh, terkadang Jauh lupa, kalau bukan karena manager-nya kantor ini sepupu Jauh, mungkin Jauh sudah hengkang pergi dari tempat ini.

Cerita tetap punya karya, tetap menghasilkan naskah. Bukan naskah seperti yang berada di pasaran, Cerita tetap bekerja sebagai editor. Mereka mulai melupakan “CERITA BERBICARA”. Bahkan Cerita akan memasukkan naskah barunya, dan berharap bukan Jauh editor-nya.
Ditengah makan siang
“CERITA!!! Naskah mu… akan diterbitkan!!! Kau hebat!!!” teriak Rasa kencang
“waaah, gilaaaa” teriak Cerita
Nalar ikut senang, dengan berjingkrak-jingkrak
Dari kejauhan Enggan memegang naskah, “SENJA TAKUT BERBICARA”, jenis novel percintaan, karangannya sendiri. Kemudian dibuangnya di tempat sampah.

Enggan terlalu takut, Cerita dengan temannya Naluri dan Rasa memiliki semangat yang luar biasa. Ketika Cerita menunggu dia tidak lantas pasrah, dia melakukan apa yang dicintainya dengan perbedaannya yang dia punya. Kemudian Tuhan melihat usaha cerita. “CERITA BERBICARA” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar