Kehidupan di ibukota membuat seorang mahasiswa lulusan
pendidikan guru TK memaksa dirinya bekerja menjadi editor di sebuah penerbitan.
Bukan sebuah paksaan memang tapi dia mecintai apa yang dilakukan ini. Namanya Cerita,
buat Cerita menjadi editor merupakan hal yang menyenangkan, tapi tidak termasuk
ketika Cerita lembur yang jelas. Cerita memang suka membaca, suka berbagi
dengan orang lain, dan suka bergaul dengan orang lain.
Tiba saatnya ketika Cerita berpikir, “aku ini seorang
editor, rasanya kurang adil, jika aku hanya mengedit karya orang, tapi aku
sendiri tidak punya karya, aku ingin punya suguhan kisah-kisah menarik.” Cerita
Sebenarnya pernah membuat cerita atau novel, tapi biasanya dia tidak pernah
melanjutkannya, dia terlalu tidak percaya diri dengan diri sendiri atau dia
hanya bingun menentukan akhir dari ceritanya.
Di kantor Cerita memiliki teman dekat yang baik bernama
Nalar dan Rasa. Mereka ini teman yang membantu Cerita pada awal masa kerja di penerbitan.
Di sela istirahat kantor.
“aku ingin punya karya, bagaimana menurut kalian?” ucap
Cerita di tengah perbincangan makan siang
“wah, kemajuan seorang editor yang haus kisah-kisah… ada apa
ini?” tanya Rasa
“aku hanya ingin, entahlah, aku hanya merasakan, aku ini
editor yang perlu di edit, aku ingin tahu apa rasanya saja ketika cerita mu di
edit oleh seorang editor, aku ingin mengalami intrik ini” jawab Cerita dengan
serius
“hahaha, kau ini, coba saja, aku yakin selama kau menjadi
editor kau mulai memikirkan, apa yang mau kau buat… input mu banyak sekali
sebagai seorang editor” kata Nalar
“memang aku baru bekerja di kantor ini beberapa minggu, tapi
entah kenapa “setan” editor terlalu
menyergap” ungkap Cerita
“tapi kau masih waras kan?” celetuk Rasa
Mereka bertiga tertawa kompak
“tentu saja, tapi entahlah, sepertinya tadi pagi aku hampir
melupakan nama ku” canda Cerita
Mereka melanjutkan tertawa, kemudian meneruskan kerja mereka
Cerita memiliki partner kerja bernama Enggan, pria yang
terlihat selalu ceria, namun Cerita tidak pernah mau mengenal lebih dekat orang
ini.
Di meja Cerita ada sebuah naskah, “CERITA BERBICARA”,
dilihat oleh Enggan
Tiba-tiba Cerita datang
“ini kau yang buat?” tanya Enggan
“iya, gimana?” tanya balik Cerita sambil cengir
“terlalu kuno cerita mu, tidak biasa, cerita yang bagus
bukan yang terlalu beda dari pasaran yang ada, harusnya kau melihat di pasaran
jenis cerita apa yang biasanya ada di pasaran, terus kamu kembangin” ketus
Enggan
“oh gitu, kau tahu banyak ya” jawab Cerita dengan dingin
“iya, ku harap kau tidak marah” kemudian Enggan pergi
meninggal Cerita untuk makan siang
“ya… aku tidak marah…” jawab pelan Cerita sambil memandang
naskahnya, kemudian dibawanya naskahnya itu untuk dilihat ke teman-teman
perempuan baiknya
Dengan lesu Cerita duduk
“kenapa dear?” tanya Nalar
Kemudian Cerita menceritakan naskahnya yang selesai di
ketiknya dan berniat akan dimasukkan ke kantor penerbitannya sendiri, kemudian
menceritkan insiden antara dirinya dengan Enggan
“sudahlah, Enggan hanya iri kepada kau, aku yakin, cerita mu
bagus, tentang pengungkapan pembunuhan oleh seorang detektiv, itu unik,
diantara maraknya naskah percintaan” kata Rasa
“tapi Enggan menganggap aku tidak tahu naskah yang di
pasaran” sedih Cerita
“jadi berbeda bukan berarti aneh, itu unik, dan kau
berani!!! Lagi pula ini kantor tempat kau bekerja, kenapa harus minder, akan ku
pastikan naskah mu akan di-editor-i oleh orang yang tepat ” semangat Rasa
Dua hari kemudian
“maaf Cerita, naskah mu, editor naskah mu Jauh…” sergap
Nalar, kemudian Cerita dan Rasa resah
Hari-hari berlalu setelahnya, tapi Rasa dan Nalar tetap
menguatkan Cerita agar tetap berkarya. Minggu-minggu berlalu. Jauh terkenal
sebagai editor yang “angot-angot”-an. Entah kapan naskah akan di edit oleh Jauh,
terkadang Jauh lupa, kalau bukan karena manager-nya kantor ini sepupu Jauh,
mungkin Jauh sudah hengkang pergi dari tempat ini.
Cerita tetap punya karya, tetap menghasilkan naskah. Bukan naskah
seperti yang berada di pasaran, Cerita tetap bekerja sebagai editor. Mereka mulai
melupakan “CERITA BERBICARA”. Bahkan Cerita akan memasukkan naskah barunya, dan
berharap bukan Jauh editor-nya.
Ditengah makan siang
“CERITA!!! Naskah mu… akan diterbitkan!!! Kau hebat!!!”
teriak Rasa kencang
“waaah, gilaaaa” teriak Cerita
Nalar ikut senang, dengan berjingkrak-jingkrak
Dari kejauhan Enggan memegang naskah, “SENJA TAKUT BERBICARA”,
jenis novel percintaan, karangannya sendiri. Kemudian dibuangnya di tempat
sampah.
Enggan terlalu takut, Cerita dengan temannya Naluri dan Rasa
memiliki semangat yang luar biasa. Ketika Cerita menunggu dia tidak lantas
pasrah, dia melakukan apa yang dicintainya dengan perbedaannya yang dia punya. Kemudian
Tuhan melihat usaha cerita. “CERITA BERBICARA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar