Kamis, 28 Maret 2013

140 KARAKTER atau APA YANG ANDA PIKIRKAN?


Rasanya, kalau ada modem, lebih dari 2 jam gua mantengin laptop gua. Niatnya sih, “eh bentar gua kayaknya ada tugas”… minutes later, gua teriak “duh orangnya lagi deket sama orang laen!!” alias gua lagi kepo!! Hahaha, ya mungkin emang gua aja tapi gua yakin ada yang dalem hatinya, “njir sama banget!”
Terlepas dari semua kronologi kita berinternet ria. Gua sedang membangun kasus, dari sebuah tweet seseorang

Ah Kampret. Gara-gara suka ngegantung nih

Tweet-nya menunjukan kebutaan emosional dari semua pembacanya sehingga menimbulkan spekulasi dari pengguna twitter (apasih!). Ya gitu, kalau di social media emang gak ada tanda menunjukkan tanda emosinya, kita gak pernah tahu bagaimana seseorang punya emosi dengan 140 karakter itu.

Lain halnya facebook setelah friendster, facebook buat orang-orang (termasuk gua) social media tergahul, bisa chat, liat photo, sekolah dimana, siapa temennya. Waaaah kepo terlengkap emang lewat facebook, karena facebook punya more than 140 karakternya jadinya istilah orang mau update status jadi panjang,

Ya gua bete sama elu, elu tuh gak mau ngertiin gua, ya gimana lagi sih, pokoknya…. Blahblahblah!

Ada kesan 140 karakter yang lebih panjang sama dengan membaca curhat lebih panjang, disini pun lewat kata-kata yang sarkas atau kata-kata seneng, kita cuman tahu emosi mereka kayak apa







Ada yang bilang gara-gara kemajuan teknologi kita jadi gak bisa nebak orang kayak apa, kalau kata gua kurang interaksi visual, mungkin sekarang ada kemudahan “LIHAT KEPRIBADIAN ORANG LEWAT TWEET ATAU STATUS -NYA” kalau yang dia ketik wise, orang mikirnya “paling co-paste”, kalau yang b3Gini4n, yes! You know what I mean dear! Tapi secara fisik kayak senyum dan tatapan muka seneng atau emosi lainnya, katanya orang-orang jadi kurang, kalau dipikir iya sih, lu lagi sedih terus tiba-tiba ada yang nge-chat lu,

Lu gak papa?
Jawab lu: iya gak papa (terus make emot senyum)  :) 

Shit ya, if you look at me now yaaaa… keiris berooooh!!
In case gua sendiri orang yang takut ketemu orang, gua lebih nyaman sms atau di social media daripada ketemu langsung. Sebenernya dengan seringnya gua maen di soc-med gua gak bisa melatih melawan ketakutan gua sama orang. Emang aneh, tapi kenyataannya lu bakal ketemu orang yang asik banget diajak sms atau chat tapi gak semuanya enak diajak ngobrol secara langsung (including me).

So this is what happen now
Gua mengangkat kasus dari fenomena ini (tabok gua!), “gampangnya baca orang dari 140 KARAKTER atau APA YANG ANDA PIKIRKAN? Daripada membaca emosi mereka secara langsung”
Gua sih kalau nge-tweet gini,
cUkUp s3K14n (baca : cukup sekian)

salam cipok jidat se-Indonesia
semarang, 28 maret 2013         

Selasa, 19 Maret 2013

Good is bad, bad is good. GOD MUST BE CRAZY!


P.S. catatan ini hadir ketika temen gua bilang, “makannya punya temen” orang ini ngomong pelan, tapi setelahnya gua berfikir tentang orang ini, ELO SIAPA? Gau gak benci orang ini, tapi ini pelajaran, ekspektasi terlalu baik tentang orang lain itu gak baik, kadang orang macem gini bikin mikir, “HEY DUDE! GUE INI SIAPA ELO?” anyone else? In fact, I’m not tough, I almost crying because this one! Haha…

Ini bukan tentang cerita tentang, film orang afrika yang kocak itu. Ini tentang orang-orang disekitar gua. Banyak orang-orang yang terlalu baik buat gua, ada orang-orang yang yagitu aja, “gua kenal elo kok” abis itu bubar jalan. Lantas kenapa gua bilang good is bad, bad is good, why?  Dilihat dari segi kenyamanan teman-teman gua yang baik ini, mereka menerima gua apa adanya kok, mereka selalu bisa menerima becandaan gua, kalo diajak ngobrol obrolan kita sama. Sedangkan orang yang kenal gua, yang sekadar kenal, bahkan di kaca mata mereka, gua freak, nerd, or anything bad about me, becandaan gua gak laku, obrolan kita gak sama, atau anggep gua “skip aja nih orang”, gua gak bisa nyaman, kadang gua milih gak kenal siapa-siapa dari pada punya temen kayak gini, rasanya jika kenal orang ini, belum tentu gua bakal ngobrol lagi, gua punya sikap otomatis “menghindar” sama teman-teman kayak gini. Beda cerita ada orang yang keliatannya baik, tapi dia itu gak seutuhnya baik, macem orang kolot yang memikirkan “manfaat” oran lain, orang ini bener-bener fu*k! karena orang ini, yah you know…. Kapan aja bisa bunuh lu…

But in fact! Di tingkat “kenyamanan” ini, gua gak punya tantangan, gua gak perlu survive. Ya biasa aja, kalo mau jalan, yok rame-rame cus. Gua gak perlu resah dengan diri gua sendiri, tanpa gua harus berfikir, gua cantik hari ini? Gua lucu hari ini? Sedangkan, dengan orang-orang sebaliknya, tingkat kewaspadaan gua tinggi, gua lebih menghindar, liat “kiri-kanan”, karena dengan orang-orang semacam ini, gua lebih banyak mikir tentang keberadaan gua, dan gua mencoba mandiri dengan orang seperti ini, yah lu tahu lah, orang-orang ini gak bisa diandelin sebagai “teman”.

Akhirnya, zona nyaman gua sendiri bisa membunuh gua suatu saat, tiba saatnya ketika teman-teman baik gua ini memiliki kehidupan lain, terus gua harus meratapi nasib gua? oh dear, gua harus survive!
In the real life, gua sendiri sedang bersama teman-teman ternyaman, you don’t have to think who you are, what you are, what you are look like, I love this! But sometime they had their comfort zone, there’s not including me, but me too, I had time, when this good friend is bad friend, I don’t enjoy this one…. So GOD MUST BE CRAZY!

Semarang, 16 Maret 2013 09.19 WIB

Rabu, 06 Maret 2013

Cerita Berbicara #edisipintar


Kehidupan di ibukota membuat seorang mahasiswa lulusan pendidikan guru TK memaksa dirinya bekerja menjadi editor di sebuah penerbitan. Bukan sebuah paksaan memang tapi dia mecintai apa yang dilakukan ini. Namanya Cerita, buat Cerita menjadi editor merupakan hal yang menyenangkan, tapi tidak termasuk ketika Cerita lembur yang jelas. Cerita memang suka membaca, suka berbagi dengan orang lain, dan suka bergaul dengan orang lain.
Tiba saatnya ketika Cerita berpikir, “aku ini seorang editor, rasanya kurang adil, jika aku hanya mengedit karya orang, tapi aku sendiri tidak punya karya, aku ingin punya suguhan kisah-kisah menarik.” Cerita Sebenarnya pernah membuat cerita atau novel, tapi biasanya dia tidak pernah melanjutkannya, dia terlalu tidak percaya diri dengan diri sendiri atau dia hanya bingun menentukan akhir dari ceritanya.
Di kantor Cerita memiliki teman dekat yang baik bernama Nalar dan Rasa. Mereka ini teman yang membantu Cerita pada awal masa kerja di penerbitan.

Di sela istirahat kantor.
“aku ingin punya karya, bagaimana menurut kalian?” ucap Cerita di tengah perbincangan makan siang
“wah, kemajuan seorang editor yang haus kisah-kisah… ada apa ini?” tanya Rasa
“aku hanya ingin, entahlah, aku hanya merasakan, aku ini editor yang perlu di edit, aku ingin tahu apa rasanya saja ketika cerita mu di edit oleh seorang editor, aku ingin mengalami intrik ini” jawab Cerita dengan serius
“hahaha, kau ini, coba saja, aku yakin selama kau menjadi editor kau mulai memikirkan, apa yang mau kau buat… input mu banyak sekali sebagai seorang editor” kata Nalar
“memang aku baru bekerja di kantor ini beberapa minggu, tapi entah kenapa “setan” editor  terlalu menyergap” ungkap Cerita
“tapi kau masih waras kan?” celetuk Rasa
Mereka bertiga tertawa kompak
“tentu saja, tapi entahlah, sepertinya tadi pagi aku hampir melupakan nama ku” canda Cerita
Mereka melanjutkan tertawa, kemudian meneruskan kerja mereka

Cerita memiliki partner kerja bernama Enggan, pria yang terlihat selalu ceria, namun Cerita tidak pernah mau mengenal lebih dekat orang ini.
Di meja Cerita ada sebuah naskah, “CERITA BERBICARA”, dilihat oleh Enggan
Tiba-tiba Cerita datang
“ini kau yang buat?” tanya Enggan
“iya, gimana?” tanya balik Cerita sambil cengir
“terlalu kuno cerita mu, tidak biasa, cerita yang bagus bukan yang terlalu beda dari pasaran yang ada, harusnya kau melihat di pasaran jenis cerita apa yang biasanya ada di pasaran, terus kamu kembangin” ketus Enggan
“oh gitu, kau tahu banyak ya” jawab Cerita dengan dingin
“iya, ku harap kau tidak marah” kemudian Enggan pergi meninggal Cerita untuk makan siang
“ya… aku tidak marah…” jawab pelan Cerita sambil memandang naskahnya, kemudian dibawanya naskahnya itu untuk dilihat ke teman-teman perempuan baiknya
Dengan lesu Cerita duduk
“kenapa dear?” tanya Nalar
Kemudian Cerita menceritakan naskahnya yang selesai di ketiknya dan berniat akan dimasukkan ke kantor penerbitannya sendiri, kemudian menceritkan insiden antara dirinya dengan Enggan
“sudahlah, Enggan hanya iri kepada kau, aku yakin, cerita mu bagus, tentang pengungkapan pembunuhan oleh seorang detektiv, itu unik, diantara maraknya naskah percintaan” kata Rasa
“tapi Enggan menganggap aku tidak tahu naskah yang di pasaran” sedih Cerita
“jadi berbeda bukan berarti aneh, itu unik, dan kau berani!!! Lagi pula ini kantor tempat kau bekerja, kenapa harus minder, akan ku pastikan naskah mu akan di-editor-i oleh orang yang tepat ” semangat Rasa

Dua hari kemudian
“maaf Cerita, naskah mu, editor naskah mu Jauh…” sergap Nalar, kemudian Cerita dan Rasa resah
Hari-hari berlalu setelahnya, tapi Rasa dan Nalar tetap menguatkan Cerita agar tetap berkarya. Minggu-minggu berlalu. Jauh terkenal sebagai editor yang “angot-angot”-an. Entah kapan naskah akan di edit oleh Jauh, terkadang Jauh lupa, kalau bukan karena manager-nya kantor ini sepupu Jauh, mungkin Jauh sudah hengkang pergi dari tempat ini.

Cerita tetap punya karya, tetap menghasilkan naskah. Bukan naskah seperti yang berada di pasaran, Cerita tetap bekerja sebagai editor. Mereka mulai melupakan “CERITA BERBICARA”. Bahkan Cerita akan memasukkan naskah barunya, dan berharap bukan Jauh editor-nya.
Ditengah makan siang
“CERITA!!! Naskah mu… akan diterbitkan!!! Kau hebat!!!” teriak Rasa kencang
“waaah, gilaaaa” teriak Cerita
Nalar ikut senang, dengan berjingkrak-jingkrak
Dari kejauhan Enggan memegang naskah, “SENJA TAKUT BERBICARA”, jenis novel percintaan, karangannya sendiri. Kemudian dibuangnya di tempat sampah.

Enggan terlalu takut, Cerita dengan temannya Naluri dan Rasa memiliki semangat yang luar biasa. Ketika Cerita menunggu dia tidak lantas pasrah, dia melakukan apa yang dicintainya dengan perbedaannya yang dia punya. Kemudian Tuhan melihat usaha cerita. “CERITA BERBICARA”